MENUJU LIKUIDASI BANK BABAK BARU

Oleh : Djoko Purwanto

 

Likuidasi bank bukan gosip, bukan issue, bukan basa-basi, tunggu tanggal mainnya Sabtu 27 Februari 1999, begitulah topik berita yang tersebar di berbagai media cetak menjelang pengumuman likuidasi bank.  Direktur BI, Subarjo Joyosumarto dan Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita di sela-sela pertemuan ke-4 Forum Tingkat Menteri Indonesia-Australia (AIMF) di Nusa Dua, Bali juga nampak begitu yakin bahwa likuidasi bank akan dilakukan tanggal 27 Februari 1999. Namun sayang, oleh karena masih ada masalah teknis yang masih harus segera diselesaikan serta untuk memberikan rasa keadilan, maka akhirnya pemerintah memutuskan melakukan  penundaan likuidasi atas bank-bank yang bermasalah dalam waktu dua minggu lagi. Waktu dua minggu itupun kalau dirasa belum cukup ya bisa mundur lagi, kata Gubernur Bank Indonesia (BI), Syahril Sabirin. Apa yang ingin diumumkan tanggal 27 Februari 1999 itu sebenarnya bukan likuidasi bank tetapi hanya stop kliring, kata Gubernur Bank Indonesia lebih lanjut.

Pengumuman penundaan likuidasi atas sejumlah bank yang bermasalah, atau yang lebih halus dengan sebutan stop kliring tersebut cukup mengagetkan, membingungkan, dan menimbulkan berbagai penafsiran dan penilaian yang bermacam-macam dari berbagai pihak. Apapun namanya likuidasi atau stop kliring, sebenarnya statement yang tersebar di berbagai mass media merupakan moment yang cukup penting bagi pemerintah dalam upaya melakukan restrukturisasi perbankan nasional tersebut, yang pada akhirnya tak dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Penundaan likuidasi bank tersebut justru dapat semakin meresahkan dunia perbankan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya otoritas moneter yang ada.

 

Likuidasi, Mengapa Tidak?

Istilah likuidasi dalam dunia perbankan bukanlah hal baru. Setelah likuidasi babak pertama usai, nampaknya likuidasi babak berikutnya masih akan berlanjut. Sebagaimana diketahui bahwa sekitar Nopember 1997 pemerintah telah melakukan langkah berani dengan melikuidasi 16 bank. Likuidasi babak pertama tersebut memang cukup mengagetkan berbagai pihak, baik para bankir, pegawai bank dan deposan. Antrean panjang seolah menjadi pemandangan rutin pada saat itu. Berbagai persoalan teknis dan nonteknispun bermunculan, mulai soal administrasi pengalihan pembayaran di bank-bank pendamping sampai pada nasib pegawai bank-bank yang terlikuidasi tersebut. Selanjutnya, sekitar Agustus 1998 pemerintah juga telah melakukan pembekuan dan pengambilalihan sejumlah bank. Kebijakan pembekuan dan pengambilalihan sejumlah bank tersebut merupakan kebijakan lanjutan atas likuidasi 16 bank yang telah dilakukan sebelumnya..

Dalam rangka melakukan restrukturisasi perbankan nasional, pemerintah telah mencanangkan program rekapitalisasi, yang diharapkan Maret 1999 bisa berjalan. Namun perlu diingat bahwa tidak semua bank dapat diikutsertakan dalam program rekapitalisasi tersebut. Untuk dapat masuk program rekapitalisasi tersebut, salah satu kriteria yang digunakan adalah sampai seberapa jauh bank tersebut mampu memenuhi rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio-CAR).  Kalau bank mampu memenuhi rasio kecukupan modal (CAR) minus 25% sampai dengan minus 4%, maka bank tersebut dapat mengikuti program rekapitalisasi.

Berdasarkan kriteria rasio kecukupan modal, BI mengelompokkan bank-bank kedalam tiga kategori, yaitu kategori A (CAR lebih dari 4%), kategori B (CAR minus 25% hingga minus 4%), dan kategori C (CAR kurang dari minus 25%). Dari 166 bank yang mengikuti due diligence telah menghasilkan 62 bank masuk kategori A, 61 bank masuk kategori B, dan 43 masuk kategori C.

Untuk bank-bank yang masuk kategori A bank tersebut dinyatakan sehat dan dapat terus beroperasi, serta tidak perlu ikut program rekapitalisasi karena telah memenuhi CAR 4%. Oleh karena itu, bank-bank yang bisa ikut program rekapitalisasi adalah bank-bank kategori B dengan beberapa catatan bahwa bank-bank tersebut harus menyediakan dana segar tambahan 20% dari kekurangan modal untuk mencapai CAR 4%. Sedangkan bank-bank yang masuk kategori C, untuk dapat mengikuti program rekapitalisasi harus naik peringkat ke B. Kalau seandainya bank-bank kategori C tidak mampu naik peringkat, maka likuidasi merupakan alternatif yang sangat pahit. Disamping itu, bank-bank yang mengikuti program rekapitalisasi diharuskan menyusun rencana bisnis (business plan) dengan batas waktu akhir Januari 1999.

Bank-bank kategori C yang memiliki CAR sampai dengan minus ratusan nampaknya sangat sulit untuk bisa deselamatkan, mengingat jumlah dana segar yang dibutuhkan juga relatif besar. Dalam kondisi perekonomian seperti saat ini, bukanlah hal gampang untuk memperoleh dana segar dari masyarakat. Terlebih lagi, kalau bank-bank tersebut harus menghadapi banyaknya kredit macet (non performing loan) dan melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK), maka likuidasi merupakan pilihan terbaik.

Yang masih menjadi teka-teki alias tanda tanya besar hingga kini adalah tentang nama dan jumlah bank-bank yang akan terkena likuidasi. Ada yang mengisyaratkan 20 bank, namun ada juga yang menyebut sekitar 40-an bank yang bakal terkena likuidasi. Prakiraan yang beredar sementara ini nampaknya belum bisa dijadikan sebagai acuan. Hal ini mengingat bahwa perubahan peringkat bank sewaktu-waktu dapat berubah, seperti yang semula banknya masuk kategori C, setelah menambah modal bisa naik peringkat ke B. Paling tidak bank-bank kategori C dengan nilai CAR yang mencapai minus ratusan serta masih memiliki berbagai masalah internal, memang sudah selayaknya untuk ditutup saja atau dilikuidasi.

 

Likuidasi Bank Babak Baru

            Yang namanya likuidasi nampaknya masih saja belum bersahabat. Ketika pemerintah mengumumkan likuidasi bank pertama kali, telah memunculkan budaya antrean yang panjang untuk penarikan dana pada bank-bank yang terlikuidasi. Perangkat aturan yang menjamin dana deposan maupun nasabah masih belum disiapkan dengan baik. Belum lagi nasib para pegawai bank yang terlikuidasi bagaimana status dan hak-hak mereka. Kesemrawutan prosedur administrasi pada bank-bank pendamping  yang ditunjuk juga seringkali menjadi hambatan si nasabah maupun deposan dalam mengurus uang simpanan mereka.

            Pengalaman likuidasi sebelumnya, nampaknya perlu memperoleh perhatian ekstra bagi pemerintah, baik yang menyangkut prosedur administrasi pengalihan pembayaran pada bank-bank pendamping maupun alternatif solusi bagi para pegawai bank-bank yang terkena likuidasi.

Penundaan likuidasi terhadap sejumlah bank nampaknya memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dapat diambil, khususnya bagi bank-bank yang kini sedang berusaha semaksimal mungkin untuk bisa lolos dari lubang jarum likuidasi, diharapkan dapat segera memenuhi atau melengkapi berbagai persyaratan yang diperlukan untuk ikut program rekapitalisasi. Paling tidak harapan hidup bank masih terbuka. Bagi para nasabah, adanya penundaan likuidasi dapat juga memberi keleluasaan untuk menarik dananya di bank-bank yang ditengarai akan dilikuidasi, selanjutnya ditransfer ke bank-bank umum nasional yang relatif aman atau mungkin juga ke bank-bank asing. Sedangkan dampak negatifnya, penundaan likuidasi sejumlah bank membawa konsekuensi menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya otoritas moneter. Kesannya seringkali statement para pengambil kebijakan tidak klop, tidak konsisten, kurang koordinatif dan bahkan membingungkan masyarakat perbankan. Disamping itu, penundaan likuidasi juga cenderung memberikan kesan performance otoritas moneter masih belum baik. 

Dengan adanya rencana likuidasi bank, sebenarnya bank-bank yang kini relatif sehatpun juga merasa agak khawatir, terutama kalau sampai terjadi penarikan dana besar-besaran di bank-bank tersebut. Sebab kalau hal itu sampai terjadi, maka bank-bank yang kuat sekalipun kalau diserbu ratusan bahkan ribuan nasabah untuk menarik dana secara besar-besaran secara serentak akan runtuh juga atau collapse. Kejadian seperti itu tentunya tidak dikehendaki oleh semua pihak.

 

Minimisasi Resiko

Yang namanya resiko memang ada di mana-mana, tak ketinggalan juga munculnya masalah likuidasi bank. Resiko likuidasi bank bisa bermacam-macam, baik resiko  yang berkaitan dengan finansial maupun sosial. Namun, yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana melakukan likuidasi bank dengan meminimisasi resiko. Dampak negatif yang harus diantisipasi jauh sebelumnya adalah jangan sampai likuidasi bank berdampak pada macetnya roda perekonomian secara global. Oleh karena bank memiliki peran yang sangat penting bagi percepatan pembangunan perekonomian pada umumnya. Adalah sulit dibayangkan, seandainya pemerintah melakukan likuidasi bank secara besar-besaran dan dalam waktu bersamaan pula. Sehingga perlu difikirkan secara seksama bahwa likuidasi bank-bank bermasalah tersebut dilakukan secara sangat selektif dan bertahap.

Disamping itu, perlu adanya koordinasi yang solid bagi para pengambil kebijakan perbankan. Lagi pula, upaya pemerintah untuk menyebarluaskan informasi melalui iklan di berbagai media massa bahwa pemerintah menjamin dana masyarakat yang disimpan di bank-bank umum, memang cukup positif dan perlu disebarluaskan sampai ke daerah-daerah. Terlebih lagi, bahwa jauh hari sebelumnya, berita rencana pemerintah untuk melikuidasi sejumlah bank telah muncul diberbagai media massa, sehingga diharapkan masyarakat bisa mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dan tentunya dihimbau  juga untuk tidak melakukan penarikan dana secara besar-besaran.

Upaya pemerintah untuk melakukan penyehatan dunia perbankan nasional, salah satunya melalui likuidasi sejumlah bank yang betul-betul sulit untuk disehatkan, nampaknya tak dapat ditunda-tunda lagi. Sehingga diharapkan bahwa hanya bank-bank yang sehat saja yang dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, cepat atau lambat likuidasi bank tak dapat dihindari lagi. Semakin lama menunda, maka semakin besar resiko yang harus dibayar oleh pemerintah, dunia perbankan maupun masyarakat pada umumnya. Mungkinkah ditunda lagi, wallahu a’lam.

@@@