Personal Website Djoko Purwanto

 

MENYOAL KOMITMEN PEMERINTAH TERHADAP USAHA KECIL

Oleh: Djoko Purwanto

 

            Ketetapan MPR yang membahas masalah ekonomi yaitu Tap II – MPR tentang masalah percepatan pemulihan ekonomi telah dikukuhkan oleh para anggota majelis terhormat, meskipun perlu penjabaran lebih lanjut. Selanjutnya, ketetapan tentang percepatan pemulihan ekonomi ini menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah untuk menindaklanjuti kedalam berbagai kebijakan dan program kegiatan yang riil yang mampu melakukan percepatan pemulihan ekonomi. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang tidak gampang.

Namun demikian, muncul pertanyaan sederhana dari masyarakat awam, apakah yang telah dihasilkan oleh para wakil-wakil rakyat tersebut telah benar-benar menyentuh kehendak, harapan, aspirasi rakyat banyak, khususnya bagaimana memikirkan nasib dunia usaha kecil yang jumlahnya mencapai jutaan unit usaha dan tersebar di seluruh penjuru tanah air ini? Apakah dalam Tap tersebut juga sudah terpikirkan bagaimana kebijakan yang perlu dilakukan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha kecil?

Apalagi kalau kita melihat progress report bidang ekonomi selama ini nampaknya juga belum mampu memenuhi harapan masyarakat luas, khususnya bagaimana komitmen pemerintah terhadap nasib rakyat kecil (wong cilik) yang notabene banyak menggantungkan kehidupan sehari-harinya dengan berbagai usaha bersakala kecil.

Kalau dicermati lebih jauh, progress report yang disampaikan pemerintah selama ini masih sebatas pada indikator-indikator makro yang bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya bahkan cenderung mengalami penurunan, seperti pertumbuhan ekonomi, investasi, dan ekspor. Sebuah keprihatinan memang. Bahkan pengangguran yang ada saat ini bukannya menurun tetapi justru memiliki kecenderungan yang semakin bertambah. Indikasinya dapat kita lihat dari kembalinya ratusan ribu para TKI illegal dari negeri Jiran Malaysia yang belum juga beres plus rencana rasionalisasi dan relokasi industri sejumlah perusahaan asing di Indonesia. Kondisi yang tidak menguntungkan ini jelas menjadikan beban perekonomian Indonesia menjadi semakin berat.

Meskipun disadari pula bahwa dengan waktu yang baru satu tahun masa pemerintahan adalah tidak mungkin bagi pemerintah untuk segera memulihkan kondisi perekonomian yang tengah dilanda krisis multidimensi ini. Namun demikian, paling tidak kebijakan apa yang telah dan akan dilakukan pemerintah kedepan dalam upaya membina dan mengembangkan usaha-usaha kecil tersebut masih belum nampak jelas. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau muncul opini di masyarakat bahwa komitmen pemerintah terhadap nasib usaha kecil masih banyak dipertanyakan, apalagi kalau para pengusaha kecil sudah bicara tentang komitmen pemerintah masalah permodalan. Biasanya permasalahan permodalan bagi dunia usaha kecil ini banyak mengemuka ke permukaaan dalam berbagai forum seperti seminar maupun dialog yang membahas tentang nasib usaha kecil.

            Selama ini pemahaman terhadap usaha kecil ini memang masih beragam, belum ada keseragaman. Ada yang mengkaitkan usaha kecil ini dari sisi jumlah tenaga kerja yang dipekerjaan dalam usaha kecil tersebut. Tetapi ada juga yang melihat usaha kecil dari sisi asset (kekayaan) yang dimiliki dan omset penjualannya.

Biro Pusat Statistik (BPS) misalnya, mengelompokkan skala usaha yang ada berdasarkan berapa banyak jumlah pekerja yang digunakan dalam melakukan kegiatan perusahaannya. Skala usaha rumah tangga bila mempekerjakan pekerja 1 s/d 4 orang; Skala usaha kecil bila mempekerjakan pekerja 5 s/d 19 orang; Skala usaha menengah bila mempekerjakan pekerja 20 s/d 99 orang; Skala usaha besar bila mempekerjakan lebih dari 100 orang.

Sementara itu, menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 menetapkan beberapa kriteria bagi skala usaha kecil, antara lain: (a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (duaratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau: (b). memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah); (c) milik warga Negara Indonesia; (d) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; (e) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hokum, atau badan usaha yang berbadan hokum, termasuk koperasi.

            Dalam penjelasan Undang-Undang ini yang dimaksud dengan usaha kecil termasuk didalamnya adalah usaha kecil informal dan usaha kecil tradisional. Yang dimaksud dengan usaha kecil informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat, dan belum berbadan hokum, antara lain petani penggarap, industri rumah tangga, pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima, dan pemulung. Sedangkan, yang dimaksud dengan usaha kecil tradisional adalah usaha yang menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara turun temurun, dan atau berkaitan dengan seni dan budaya.

Apabila dicermati lebih jauh, maka nampak bahwa kriteria usaha kecil dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 dengan mendasarkan pada asset (kekayaan) paling banyak Rp. 200.000.000,- barangkali tidak pas dengan kondisi riil kebanyakan para pengusaha kecil yang ada di daerah-daearah. Padahal dari jenis usaha kecil yang ada tersebut lebih banyak didominasi dari usaha informal yang memiliki kekayaan jauh dibawah ketentuan UU tersebut.

Sebagai gambaran sekilas untuk daerah kota Surakarta, misalnya bahwa berdasarkan data Dinas Koperasi dan UKM kota Surakarta menunjukkan bahwa rata-rata nilai asset yang dimiliki pengusaha kecil untuk berbagai sector cukup bervariasi, untuk sektor perdagangan nilai assetnya sekitar Rp. 100.000.000,-; sector industri pertanian, industri non-pertanian, dan aneka jasa sekitar Rp. 70.000.000.000,-; dan sector aneka usaha sekitar Rp. 40.000.000,- bahkan ada yang asetnya lebih rendah lagi.

Ini menunjukkan bahwa batasan yang tertuang dalam Undang-Undang tersebut terlalu besar dan terkesan disamaratakan (gebyah uyah) untuk semua sector usaha yang ada. Kondisi seperti itu jelas tidak menguntungkan bagi pengusaha kecil yang memiliki nilai asset yang kecil manakala berhubungan dengan dunia perbankan. Hal ini mengingat bahwa umumnya dunia perbankan khususnya bank-bank komersial (umum) masih relative kecil yang tertarik untuk menangani usaha-usaha berskala kecil ini.

Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini yang namanya usaha kecil relative kurang memperoleh perhatian serius dari pemerintah atau terkesan dianaktirikan bahkan tidak jarang mereka ini sering menjadi korban penggusuran dan sejenisnya. Usaha kecil menjadi agak memperoleh perhatian pemerintah ketika Indonesia dilanda badai krisis ekonomi sekitar pertengahan tahun 1997 yang mampu menggoyang sendi-sendi bisnis berskala besar, termasuk dunia perbankan.

Usaha besar yang selama ini menjadi tumpuan harapan untuk memperkuat perekonomian nasional, ternyata sangat rapuh dan tak mampu menahan badai krisis ekonomi. Satu per satu usaha besar mulai berjatuhan dan menambah deretan jumlah pengangguran yang semakin panjang. Dus, apa yang diharapkan terhadap usaha besar selama ini agar mampu memberikan multiplier effect kesejahteraan dan kemakmuran kepada masyarakat secara luas, ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan, bahkan justru sebaliknya menimbulkan gap antara yang kaya dan miskin yang semakin besar, sementara jumlah pengangguran dan kemiskinanpun menjadi semakin besar.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia ini paling tidak merupakan pelajaran yang sangat berharga dan sekaligus sebagai bahan introspeksi bagi para pengambil kebijakan di negeri ini agar jangan sampai melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Salah satu hikmah yang sangat berharga dan dapat diambil dari badai krisis ekonomi saat ini adalah jangan lagi si kecil (usaha kecil) ini terpinggirkan atau dianaktirikan lagi.

Dalam memasuki era globalisasi, pemerintah sudah seharusnya memberikan dorongan yang kuat bagi usaha kecil yang tersebar diseluruh penjuru tanah air ini agar mampu mengembangkan dirinya sehingga memiliki daya saing yang kuat baik di pasar local, nasional maupun internasional. Daya saing yang kuat mutlak diperlukan, bukan saja usaha berskala menengah dan besar, tetapi juga unit-unit usaha kecil yang jumlahnya mencapai puluhan juta unit ini, agar tetap eksis dan berkembang di alam persaingan bisnis yang semakin ketat. Paling tidak, bagaimana unit-unit usaha kecil yang ada ini mampu memperlihatkan dirinya tetap eksis, meskipun hanya bermain dalam pasar local saja. Hal ini mengingat bahwa tidak semua unit usaha kecil yang ada ini bisa diharapkan atau diorientasikean untuk ekspor. Oleh karenanya perlu dilakukan identifikasi unit usaha kecil mana yang memiliki potensi untuk ekspor dan mana yang hanya diorientasikan untuk pemenuhan pasar local maupun nasional (domestic). Hal ini perlu dilakukan mengingat pola pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil yang memiliki orientasi pasar yang berbeda tentu saja perlakukan dalam pola pembinaan dan pengembangannyapun juga berbeda.

Pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil ini menjadi sangat penting artinya mengingat bahwa jumlah unit usaha kecil yang tersebar di seluruh penjuru tanah air pada tahun 2002 diperkirakan mencapai sekitar 39 juta unit usaha. Sedangkan dalam hal penyerapan tenaga kerja, usaha kecil ini mampu menyerap lebih dari 99 persen jumlah tenaga kerja yang ada. Apabila dibandingkan dengan tahun 1996 yang mencapai sekitar 88 persen, maka jumlah penyerapan tenaga kerja tahun ini sebelas persen lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1996. Sementara itu, dilihat dari kontribusi usaha kecil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2002 sebesar 56 persen; sedangkan tahun 1996 hanya sebesar 38,9 persen. Ini berarti bahwa kontribusi yang diberikan oleh unit usaha kecil mengalami peningkatan yang cukup berarti.

Meskipun disadari bahwa pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil ini perlu ditangani secara simultan dan berkesinambungan oleh pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap usaha kecil, namun peran pemerintah sebagai pengambil kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong iklim usaha yang kondusif sangatlah diperlukan baik yang berkaitan dengan persaingan usaha yang sehat, kebijakan yang berkaitan dengan pendanaan, dan kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan usaha kecil.

Namun, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan usaha kecil ini dapat diimplementasikan di lapangan secara baik. Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah siapa dan bagaimana melakukan control terhadap kebijakan-kebijakan tersebut. Bagaimanapun control sangat diperlukan untuk saling mengingatkan dan mengembalikan pada jalur dan prosedur yang benar.

Mudah-mudahan kedepan usaha kecil mampu mengembangkan dirinya menjadi unit usaha yang lebih handal dan mandiri dan memiliki daya saing yang kuat. Semoga!

@@@