Namun, tampaknya muncul kekhawatiran dari pihak yang
menjadikan moratorium utang luar negeri (LN) seolah menjadi momok
menakutkan yang bisa membawa bangsa ini menjadi lebih terpuruk karena
kredibilitas menjadi taruhannya di dunia internasional. Misal dikucilkan
di percaturan dunia internasional atau peringkat utangnya yang sudah
membaik merosot lagi. Barangkali kita perlu melihat secara proporsional
dan kasus per kasus permasalahan moratorium utang LN ini.
Sebagaimana diketahui, salah satu negara donor yang mengusulkan pemberian
keringanan, penangguhan atau penundaan (moratorium) pembayaran utang LN
bagi negara-negara yang sedang terkena musibah gempa dan gelombang
tsunami adalah Kanselir Jerman Gerhard Schroeder. Sebuah usulan positif
dan simpatik negara kreditur ke negara debitur, tentu selayaknya
direspons baik dan segera muncul upaya-upaya aksi menindaklanjutinya.
Selain Jerman, ada sejumlah negara donor/kreditur lain yang juga
memberikan sinyal positif untuk mempertimbangkan tawaran Jerman atas
keringanan utang LN Indonesia, antara lain Inggris, Prancis, Italia,
Kanada, AS, dan Spanyol. Sementara, Jepang sebagai salah satu negara yang
selama ini belum pernah melakukan moratorium utang LN, tampaknya lebih
condong memberikan bantuan langsung berupa hibah bagi negara-negara yang
ditimpa musibah bencana gempa dan gelombang tsunami.
Dalam kaitan dengan tawaran sejumlah negara donor atas moratorium utang
LN itu, meskipun respons pemerintah dinilai berbagai kalangan pada
awalnya cenderung lamban, ragu dan sangat hati-hati, namun akhirnya
pemerintah lebih proaktif. Kesan itu terbaca ketika Menteri Keuangan
Jusuf Anwar mengungkapkan bahwa pemerintah tidak akan meminta moratorium
atau penghapusan utang LN, tetapi kalau ada negara yang mau memberi
(penghapusan).
Di samping itu, pada kesempatan berbeda ketika Menteri Keuangan Yusuf
Anwar dan Kepala Bappenas Sri Mulyani menegaskan meski Indonesia sangat
menyambut baik tawaran itu namun jangan sampai memunculkan risiko baru
yang mungkin muncul dari moratorium utang tersebut.
Indonesia menginginkan moratorium utang LN diberikan tanpa syarat dan
tidak mempengaruhi rating (peringkat) utang Indonesia yang sudah membaik
dari peringkat B menjadi B+ (menurut Standard & Poor’s). Bahkan
presiden dan wakil presiden memberikan sinyal positif untuk lebih
proaktif dalam merespons tawaran moratorium utang LN dari beberapa negara
donor itu.
Sebagaimana diketahui, Kanselir Jerman Gerhard Schroeder mengatakan Paris
Club yang beranggotakan 19 negara kreditur akan mempertimbangkan
kemungkinan penundaan pembayaran utang atau penghapusan utang kepada
negara-negara yang menjadi korban gempa dan gelombang tsunami, termasuk
Indonesia. Alasan yang dikemukakan Gerhard Schroeder adalah untuk memberi
kesempatan Indonesia untuk membangkitkan kembali situasi dan kondisi Aceh
dan Sumut yang sedang ditimpa bencana.
Pendekatan moratorium
Secara umum pola pendekatan moratorium utang LN itu bisa bervariasi
antara satu negara dengan negara yang lain. Dalam kaitannya dengan penawaran
moratorium utang LN, ada beberapa negara yang menggunakan pola pendekatan
bilateral, tetapi ada yang memilih pola pendekatan kelembagaan. Bila pola
bilateral yang dipilih, maka proses pengajuannya dapat dilakukan langsung
antara negara debitur dengan negara donor atau negara yang menawarkan
moratorium utang LN itu.
Pola pendekatan lain yang dapat digunakan dalam proses pengajuan
moratorium utang LN itu secara kelembagan, seperti Paris Club, atau CGI.
Melalui Paris Club (misalnya), Indonesia pernah memperoleh keringanan
pinjaman utang LN beberapa kali dalam bentuk penjadwalan utang kembali.
Saat ini, Indonesia memiliki utang ke negara-negara anggota Paris Club
per 31 Januari 2002 sekitar 41,4 miliar dolar AS. Sementara, menurut data
BI, utang luar negeri pemerintah per 31 Desember 2003 mencapai sekitar
81,665 miliar dolar AS, di mana 29,883 miliar dolar AS merupakan utang
bilateral dan Jepang merupakan negara donor yang memiliki porsi terbesar
kaitan dengan utang bilateral. Sedangkan secara kumulatif utang LN
diperkirakan mencapai 135 miliar dolar AS.
Pada 2005 besarnya cicilan pokok utang LN Indonesia yang jatuh tempo
mencapai sekitar Rp 46,83 triliun plus bunga utang LN Rp 25,14 triliun.
Pembayaran bunga utang LN berasal dari utang multilateral 38,5%, utang
bilateral 24,7%, fasilitas kredit ekspor 21,9%, dan pinjaman lainnya
14,9%.
Beban pembayaran utang LN yang cukup besar itu jelas akan sangat
mempengaruhi keleluasaan pemerintah dalam mengalokasikan dana yang ada
bagi program-program pembangunan berbagai sektor kehidupan masyarakat
pada umumnya. Karenanya, tidaklah pada tempatnya kalau pemerintah masih
ragu dan malu-malu dalam mengambil sikap atas tawaran moratorium itu.
Kekhawatiran pengajuan moratorium utang LN Indonesia ke negara donor akan
menurunkan peringkat utangnya, barangkali kurang pas. Ini mengingat
Indonesia pernah melakukan pengajuan rescheduling di Paris Club beberapa
kali, dan kenyataannya tidak mempengaruhi peringkat utangnya. Di samping
itu, alasannya pun barangkali berbeda, mengingat Indonesia sebatas
merespons tawaran simpatik dari sejumlah negara donor yang melihat
kondisi Indonesia sedang ditimpa musibah bencana alam tentu sangat berat
untuk dapat memulihkan kondisi.
Sebaiknya upaya pengajuan moratorium itu tak sebatas penjadwalan utang,
tetapi perlu negosiasi lebih intens untuk memperoleh pengurangan pokok
utangnya atau pembebasan sebagian atau seluruh bunganya.
Tidaklah bijak kalau tawaran simpatik dari negara-negara donor itu
dibiarkan begitu saja. Hendaknya upaya untuk mengurangi beban penderitaan
masyarakat akibat beban utang luar negeri menjadi poin utama ketimbang
kekhawatiran penurunan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat
internasional, seperti Standard & Poor’s (SP).
Semoga, ini dapat menjadi pemikiran berharga bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Semoga! - *) Drs Djoko Purwanto MBA, dosen
FE & MM UNS Solo.
|