Personal website Djoko Purwanto
MENYOAL MISTERI BLBI

Oleh :  Djoko Purwanto

 

            Upaya menguak kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau yang lebih dikenal dengan BLBI semakin lama semakin jauh dari harapan. Betapa tidak, hampir tiga tahun berbagai upaya penyelesaian kasus BLBI belum menampakkan tanda-tanda yang mengarah pada penemuan solusi terbaik, sehingga uang rakyat “trilyunan” yang ngendon di sejumlah bank penerima BLBI belum juga dapat diharapkan kapan harus kembali.

Bahkan, baru saja dalam ingatan kita kejadian kebakaran gedung BPKP konon katanya sejumlah dokumen penting tentang kasus BLBI ikut juga ludes terbakar, paling tidak menyisakan sebuah kecemasan. Ibaratnya sebuah luka yang belum juga sembuh kini muncul statement yang kurang mengenakkan tentang penundaan proses hukum atas salah satu pemilik bank penerima BLBI yang kini dalam perawatan BPPN.

 

Lender of the Last Resort

Sesuai dengan ketentuan pasal 32 ayat (3) UU No. 13 Tahun 1968 bahwa sesuai dengan fungsinya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia menyalurkan dana BLBI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, seperti penarikan dana besar-besaran (rush). Kondisi perbankan menjadi semakin kacau ketika pemerintah dengan terpaksa harus melikuidasi 16 bank bermasalah sekitar Nopember 1997. Lagipula, saat itu belum ada kebijakan penjaminan dana deposan dan kreditur. Sebagai wujud kepanikan para deposan, mereka berbondong-bondong menarik dana di sejumlah bank, sehingga bank-bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas. Maka tidak mengherankan, setelah itu disusul pembekuan operasi, pengambilalihan manajemen dan rekapitalisasi sejumlah bank.

Sebagai kredit jangka pendek, dana BLBI juga harus dikembalikan dan dikenakan bunga cukup tinggi. Bunga atas fasilitas saldo debet sebesar 124 persen dan suku bunga fasilitas diskonto sekitar 125 persen dari JIBOR (Jakarta Inter bank Offered rate-suku bunga pinjaman antarbank di Jakarta).

 

Simpangsiur

Mengenai angka yang pasti berapa jumlah dana BLBI yang telah disalurkan ke bank penerima BLBI nampaknya masih simpang siur, muncul berbagai versi yang berbeda. Menurut hasil audit BPKP jumlah BLBI yang disalurkan oleh BI sampai dengan tanggal 14 Mei 1999 sebesar Rp. 193,31 trilyun. Dari jumlah tersebut yang sudah dikonversi menjadi utang pemerintah adalah Rp. 164,54,- trilyun yang terdiri atas tiga kali penerbitan surat utang tertanggal 25 September 1998 (Rp. 80,- trilyun), 23 Oktober 1998 (Rp. 20,- trilyun), dan 8 Februari 1999 (Rp. 64,54,- trilyun). Konversi tersebut dilakukan dengan syarat bahwa jumlah tersebut masih harus diverifikasi. Verifikasi dimaksudkan untuk menentukan apakah BLBI yang disalurkan bisa dialihkan kepada pemerintah, dan apakah penyaluran dan penggunaan BLBI accountable. Oleh karena itu, pemerintah menunjuk BPK dan BPKP untuk melakukan audit investigasi atas BLBI sebesar Rp. 164,54 trilyun tersebut.

Dari jumlah BLBI sebesar Rp. 164,54,- trilyun yang dicatat oleh BI, hanya Rp. 64 trilyun yang diakui sebagai utang pemerintah. Selebihnya, Rp. 29,-  trilyun masih diragukan, dan Rp. 71,- trilyun tak diakui oleh pemerintah. Mengenai jumlah BLBI yang diakui sebagai utang pemerintah terjadi kesimpangsiuran. BI menganggap pemerintah telah mengambilalih hak tagih atas BLBI sejumlah Rp. 164,54,- trilyun dengan mengeluarkan obligasi.

Bank Indonesia telah menyalurkan dana BLBI sebesar Rp. 164,54,- trilyun ke 55 bank. Secara rinci, ke 55 bank tersebut terdiri atas : 10 Bank Beku Operasi (BBO) sebesar Rp. 57 trilyun, 4 Bank Take Over (BTO) sebesar Rp. 54 trilyun, 24 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sebesar Rp. 20 trilyun, 16 bank dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp. 11,8 trilyun, serta Rp. 20 trilyun untuk Bank Ekspor Indonesia.

 

Temuan BPK

            Hasil audit investigasi yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap 48 bank penerima BLBI sebesar Rp. 144,5 trilyun ditemukan berbagai bentuk penyimpangan baik yang berupa kelemahan sistem dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp. 138, 442 trilyun atau sekitar 95,78 persen dari total BLBI yang disalurkan pada posisi  29 Januari 1999.

Temuan tersebut tentunya mengejutkan banyak pihak, mengingat jumlahnya yang sangat besar, maka sudah seharusnya kalau kasus BLBI memperoleh prioritas penyelesaian. Harapan masyarakat terhadap penyelesaian kasus BLBI sangatlah besar, sehingga dana yang tersedot dalam penyaluran BLBI dapat segera kembali ke pemerintah, yang saat ini sangat memerlukan kucuran dana bagi pemulihan ekonomi nasional maupun menutup anggaran defisitnya.

            Secara garis besar, menurut Ketua BPK Satrio Budiharjo Judono, penyimpangan BLBI dapat dilihat dari dua aspek, pertama dilihat dari penyaluran BLBI kepada sejumlah bank penerima BLBI dan kedua dilihat dari penggunaannya.

Pertama, dilihat dari penyaluran BLBI, penyimpangan BLBI meliputi : (a) penyimpangan yang berasal dari saldo debet kepada 10 BBO, 1 BTO, dan 13 BDL; (b) penyimpangan dalam penyaluran fasilitas barang berharga pasar uang khusus kepada 8 BBO, 3 BTO dan 11 BBKU; (c) penyimpangan penyaluran fasilitas saldo debet kepada 3 BBO, 2 BTO, dan 11 BBKU; (d) penyimpangan dalam penyaluran dana talangan rupiah kepada 2 BDL; (e) penyimpangan penyaluran dana talangan valas kepada 5 BBO, 3 BTO, 5 BBKU dan 3 BDL.

            Sedangkan yang kedua, penyimpangan dilihat dari penggunaannya, mencakup (a) BLBI digunakan untuk membayar pelunasan modal pinjaman dan pinjaman subordinasi; (b) BLBI digunakan untuk membayar kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis; (c) BLBI digunakan untuk membayarkewajiban kepada pihak terkait; (d) BLBI digunakan untuk transaksi surat berharga; (e) BLBI digunakan untuk membayar dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan; (f) BLBI digunakan untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo; (g) BLBI digunakan untuk pembiayaan placement baru di PUAB(Pasar Uang Antarbank); (h) BLBI digunakan untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada; (i) BLBI digunakan untuk membiayai investasi untuk aktiva tetap, pembukaan cabang baru, recruitment personil baru, peluncuran produk baru dan penggantian system baru. Penggunaan BLBI tersebut jelas menyimpang dari tujuan utama penyaluran BLBI oleh pihak BI yaitu agar bank yang bersangkutan dapat terjaga tingkat likuiditasnya.

            Temuan BPK atas penyimpangan dalam penyaluran dan penggunaan BLBI tersebut merupakan asset yang sangat berharga bagi penuntasan kasus BLBI oleh pihak Kejaksaan Agung untuk segera melakukan upaya-upaya pengusutan lebih lanjut baik penyelidikan, penyidikan sampai pada upaya penuntutannya.

Upaya-upaya Kejaksaan Agung dalam menangani kasus BLBI nampaknya sudah mulai dilakukan, seperti meminta keterangan beberapa pihak yang diduga terlibat dalam proses penyaluran BLBI, termasuk sejumlah bankir dan mantan pejabat yang diduga terlibat dengan kasus penyaluran BLBI. Namun, nampaknya hal itu belum dapat memenuhi harapan banyak pihak dan harus banyak bersabar.

Menurut Jaksa Agung Marzuki Darusman sekitar Agustus lalu, menyatakan bahwa kini telah dilakukan penyelidikan bagi pemilik, pemegang saham dan pengelola kesepuluh bank bermasalah yang akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Kesepuluh bank bermasalah tersebut antara lain: BDNI, BUN, Bank Deka, Bank Aspac, Bank Umum Servita, Bank Istismarat, Bank Centris, Bank Modern, Bank Pelita dan Bank Utama (Bank Pesona). Ini berarti bahwa masih banyak bank penerima BLBI yang belum tersentuh oleh pihak Kejaksaan Agung.

Memang, sejumlah bankir penerima dana BLBI sudah dijadikan tersangka, termasuk pemilik BDNI. Namun sayang, upaya proses hukum pemilik BDNI ini tiba-tiba ditangguhkan bersama dua konglomerat lainnya. Berbagai reaksipun bermunculan. Lagi-lagi penegakkan hukum (law inforcement) di tanah air ini benar-benar mendapat ujian besar.

 

Pola Pengembalian BLBI

            Mengingat BLBI sebagai kredit jangka pendek, tentunya BLBI tersebut dalam jangka waktu tertentu harus dikembalikan ke Bank Indonesia. Sayang, pola pengembalian BLBI  yang telah ditentukan oleh pemerintah seringkali tidak konsisten dan berubah-ubah.

Pada awalnya, batas waktu pengembalian BLBI ditentukan tanggal 21 September 1998 dan dapat dilakukan secara tunai atau dalam bentuk penyerahan asset perusahaan yang dibiayai bank. Selanjutnya aset ini dikelola oleh perusahaan induk yang dibentuk BPPN. Belum lagi direalisir, muncul skenario baru dengan pola pengembalian BLBI dalam waktu satu tahun. Nampaknya pihak pemberi dana internasional, IMF merasa khawatir dengan pola pengembalian BLBI yang hanya satu tahun tersebut, dan menginginkan untuk ditinjau ulang. Selanjutnya muncul scenario baru lagi bahwa pengembalian BLBI dalam jangka waktu tiga sampai lima tahun. Lagi-lagi, scenario pengembalian BLBI yang sempat diumumkan harus diubah lagi menjadi jangka waktu empat tahun.

Pengembalian BLBI oleh bank penerima BLBI yang ideal adalah dalam bentuk uang tunai. Namun, dalam kondisi yang masih krisis seperti ini, nampaknya agak sulit dicapai. Oleh karenanya, pola pengembalian BLBI dilakukan dalam bentuk uang tunai/cash dan penyerahan asset bank yang nilainya sama dengan jumlah BLBI yang mereka terima. Aset bank yang diserahkan ke BPPN tentunya harus dinilai terlebih dahulu oleh appraisal BPPN.

Belakangan Menko Ekuin Rizal Ramli menyatakan bahwa apabila ternyata jumlah asset bank yang diserahkan belum mencukupi, maka bank penerima BLBI tersebut harus menambahkan asset yang baru plus personal guarantee. Apa yang terjadi seandainya mereka yang menikmati dana BLBI tersebut sudah tidak memiliki asset yang bisa dijadikan jaminan? Tiada jalan lain kecuali proses hukum harus ditegakkan. Prinsip equity over the law tidak boleh pandang bulu.

Lagi-lagi, pemerintah menjadi pihak yang dirugikan dengan pola pengembalian BLBI dengan penyerahan asset bank. Pemerintah melalui BPPN harus bersusah payah lagi untuk dapat menjual aset-aset bank melalui pelelangan. Disamping itu, dengan pengembalian BLBI dalam bentuk penyerahan asset tersebut, sebenarnya pemerintah telah kehilangan suatu opportunity (kesempatan) untuk dapat memanfaatkan dana BLBI tersebut bagi pemulihan ekonomi nasional.

 

Cekal Bankir Nakal

            Untuk memperlancar keperluan pengusutan penyelesaian kasus BLBI dan mempermudah pemeriksaannya, maka sudah selayaknya kalau para bankir yang menerima BLBI tersebut dikenakan cegah-tangkal (cekal). Dalam berbagai kasus lain upaya cekal dapat dilakukan, tentunya kasus-kasus di dunia perbankan juga dapat dilakukan upaya cegah-tangkal. Paling tidak, tindakan cegah-tangkal ini dapat dipakai sebagai upaya preventif (jaga-jaga) bilamana saat-saat tertentu yang bersangkutan diperlukan untuk penyelidikan sehingga tidak mengalami kesulitan. Tentunya kita berharap pihak kejaksaan tidak kecolongan, misalnya bankir tertentu saat dibutuhkan informasinya ternyata yang bersangkutan sudah berada di luar negeri dan tidak jelas kapan kembalinya.

            Saat ini paling tidak terdapat sekitar 42 bankir dari sepuluh bank bermasalah yang hingga kini belum dikenakan tindakan pencekalan. Hanya dengan sikap percaya kepada para bankir bahwa mereka tidak akan lari ke luar negeri, nampaknya agak sulit untuk diterima. Saat ini yang diperlukan adalah suatu tindakan bukan sekedar retorika. Jaksa Agung pada suatu saat tertentu pernah mengusulkan para bankir penerima BLBI untuk dicekal, namun belakangan Jaksa Agung sendiri menyatakan belum perlu melakukan pencekalan terhadap mereka.

Maka tidaklah mengherankan kalau penyelesaian kasus BLBI yang selama ini telah dilakukan menyisakan sebuah misteri yang tak jelas kapan pengembalian dana BLBI tersebut ke tangan pemerintah. Batu ujian menunggu keseriusan pihak aparat penegak hukum untuk dapat menuntaskan kasus BLBI secara adil. Semoga !

@@@