POSTULAT MENAMBAL DEFISIT APBN

Oleh: Djoko Purwanto

 

            Kekhawatiran sejumlah pihak baik pengamat ekonomi maupun para pelaku bisnis dan pelaku pasar uang terhadap perkembangan perekonomian nasional belakangan ini tentunya cukup beralasan, mengingat berbagai asumsi dasar yang digunakan pemerintah dalam menyusun APBN 2001 ternyata jauh dari target yang telah ditetapkan. Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian Rizal Ramli sendiri nampaknya juga agak cemas dengan kondisi APBN 2001 yang baru berjalan tiga bulan tersebut. Bahkan secara khusus Menko Perekonomian Rizal Ramli memberikan prediksi bahwa defisit APBN 2001 kemungkinan membengkak menjadi sekitar  Rp. 70 triliun (sekitar 5 persen dari Produk Domestik Bruto/PDB), dimana sebelumnya defisit APBN 2001 ditargetkan sebesar Rp. 52,5 triliun (sekitar 3,7 persen dari PDB). Yang jadi masalah adalah bagaimana cara nomboki pembengkakan anggaran defisit tersebut, sementara bantuan dana IMF sendiri belum juga dapat dicairkan.

 

Rupiah Melemah

            Dalam menyusun APBN 2001 pemerintah menggunakan berbagai asumsi dasar seperti kurs rupiah Rp. 7.800,- per US dollar, pertumbuhan ekonomi 5 persen, suku bunga SBI (sertifikat bank Indonesia) 11,5 persen, harga minyak mentah US$ 24 per barrel, dan inflasi 7,2 persen. Dari beberapa asumsi dasar tersebut, nampaknya setelah tiga bulan berjalan kurs rupiah, tingkat suku bunga SBI, dan tingkat inflasi perlu memperoleh perhatian yang ekstra dari pemerintah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kurs rupiah yang dipatok pemerintah dalam APBN 2001 adalah Rp. 7.800,- per US dollar, ternyata dalam perjalanannya hingga kini belum menunjukkan perkembangan yang baik (menguat), tetapi justru sebaliknya yaitu mengalami kecenderungan melemah hingga mencapai Rp. 10.800,- per US dollar pada tanggal 6 April 2001. Bahkan kurs rupiah pernah menyentuh pada level terendah dalam pemerintahan Gus Dur sekitar Rp. 11.500,- per US dollar pada bulan Maret 2001.

Para pelaku pasar uang ternyata masih memberikan sentimen negatif terhadap kinerja pemerintah dalam mengelola perekonomian nasional, ditambah lagi dengan semakin memanasnya suhu perpolitikan dan keamanan di tanah air tercinta ini. Sungguh sangat sulit dibayangkan, kalau kondisi riil di masyarakat yang ada saat ini tidak segera memperoleh perhatian ekstra dari pemerintah baik yang berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, dan keamanan.

            Permasalahan ekonomi di Indonesia ini betul-betul sangat kompleks. Ia tidak bisa diselesaikan dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomi semata, tetapi kadangkala permasalahan-permasalahan ekonomi yang muncul ke permukaan cenderung campur baur dengan bau politis, yang memungkinkan penanganannya menjadi semakin sulit. Barangkali bukan hal baru ketika sejumlah obligor besar memperoleh perlakuan istimewa dibanding dengan obligor lainnya, jelas hal ini akan memberikan citra yang tidak menguntungkan bagi pemerintah.

Proses penegakan hukum terhadap para pelaku kejahatan di bidang ekonomi saat ini yang cenderung lamban menjadi salah satu kendala utama di bidang reformasi hokum di tanah air. Komitmen pemerintah dalam pemberantasan KKN sebagaimana yang menjadi tuntutan visi reformasi mahasiswa betul-betul menjadi batu ujian yang sangat berharga bagi menumbuhkan citra yang baik bagi pemerintah. Meskipun disadari bahwa berbagai pihak masih belum puas terhadap kinerja pemerintah dalam bidang yang satu ini.

Berbagai kebijakan ekonomi dan perbankan yang dilakukan oleh pemerintah hingga kini belum juga mampu mendongkrak kurs rupiah baik yang berkaitan dengan kebijakan pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/3/PBI/2001, intervensi terbatas BI di pasar uang, serta himbauan pemerintah bagi BUMN untuk menggelontorkan dolarnya ke pasar uang ternyata belum mampu memperkuat rupiah. Apalagi kucuran dana IMF sebagaimana yang telah disepakati antara pemerintah Indonesia dengan IMF melalui nota kesepakatan LOI (letter of intent) mengalami penundaan. Seharusnya akhir Desember 2000 yang lalu pemerintah Indonesia sudah dapat mencairkan bantuan dana IMF tersebut sekitar 400 juta US dollar, namun hingga kini belum juga ada kejelasan. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa keberhasilan pencairan dana IMF ini paling tidak akan memberikan sinyal positif bagi donor dana lainnya seperti Bank Dunia maupun CGI.

Seringkali muncul pertanyaan mengapa IMF cenderung mengulur-ngulur waktu dalam pemberian bantuan dana yang sudah disepakati bersama? Ada beberapa hal yang barangkali perlu memperoleh perhatian pemerintah. Pertama yang berkaitan dengan munculnya amandemen Bank Indonesia sebagai lembaga bank sentral yang independen, nampaknya memunculkan kehawatiran pihak IMF jangan-jangan bukan independensi yang diperoleh tetapi justru munculnya pihak-pihak tertentu yang dapat memainkan peran bagi kepentingan-kepentingan tertentu, maklumlah ini kan tempat yang strategis bagi penggelontoran dana. Kedua yang berkaitan dengan rencana penjualan asset (divestasi) yang dilakukan oleh pemerintah lewat BPPN terhadap BCA (40 persen) dan Bank Niaga (maksimal 51 persen) dan nampaknya melalui perdebatan yang cukup a lot dengan DPR. Ketiga yang berkaitan dengan penghapusan segala bentuk subsidi yang sementara ini masih dilakukan oleh pemerintah, paling tidak dalam memasuki perdagangan bebas secara bertahap juga harus dikurangi, sehingga diharapkan para pelaku bisnis dalam melakukan bisnisnya berlaku secara fair tidak lagi berlindung dibalik subsidi. Kalau tempo dulu aneka subsidi banyak dinikmati oleh sekolompok orang tertentu, maka sudah selayaknya untuk dapat dinikmati masyarakat secara luas melalui kegiatan bisnis secara fair. Keempat yang berkaitan dengan masalah keamanan di tanah air. Adalah hal yang wajar kalau para investor asing juga sangat mengharapkan kondisi yang aman, damai, tenteram sehingga memungkinkan semua kegiatan ekonomi dapat berlangsung dengan enak, nyaman dan damai. Tentunya bukan saja investor asing yang merindukan kondisi tanah air yang aman tersebut, tetapi juga semua warga masyarakat termasuk para investor domestik. Berbagai kasus perusahaan asing yang beroperasi di tanah air dengan terpaksa harus tutup gara-gara masalah keamanan tentunya tak dapat terlepas dari perhatian IMF dalam menyalurkan bantuan dananya bagi upaya pemulihan ekonomi Indonesia yang sudah terpuruk ini. Kelima masalah otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan diperbolehkannya daerah mencari pinjaman asing. Kekhawatiran IMF berkaitan dengan seandainya daerah tak mampu membayar pinjamannya, maka hal itu jelas akan menjadi tambahan beban bagi pemerintah pusat. Oleh karena itu, sejak awal IMF telah memberikan warning bagi daerah untuk tidak melakukan pinjaman asing, meskipun dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pasal 81 hal itu dapat dibenarkan. Keenam yang berkaitan dengan masalah restrukturisasi perusahaan yang ada di BPPN dimana IMF menghendaki bahwa dalam melakukan restrukturisasi perusahaan sebaiknya pemilik lama perusahaan tidak lagi diperbolehkan untuk menguasai kembali perusahaannya.

Barangkali kehadiran IMF di Indonesia untuk memulihkan perekonomian nasional ini hendaklah dapat dipahami secara proporsional dan rasional. Kalau toh masih ada sementara pihak yang tidak lagi menghendaki kehadiran IMF, dalam kondisi seperti saat ini barangkali perlu pemikiran yang lebih intens. Kalau dapat diibaratkan, kita ini betul-betul sudah terlanjur basah, mau diapain lagi. Tiada cara yang lebih baik kecuali mengikuti semua aturan main yang sudah disepakati dalam LoI. Kalau negara lain bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi, kenapa kita belum? Inilah dorongan bagi semua pihak yang sekaligus dapat kita gunakan untuk berkaca diri, khususnya pemerintah untuk dapat secara konsisten mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang telah disepakati bersama tersebut.

 

Suku Bunga Naik

            Salah satu alat kontrol kebijakan moneter yang konvensional untuk menstabilkan kurs rupiah adalah menaikkan suku bunga SBI. Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang ditetapkan dalam APBN 2001 adalah 11,5 persen. Tetapi, dalam perkembangannya sejak Februari 2001 menunjukkan trend yang semakin meningkat sehingga mencapai 15,79 persen. Kenaikan tingkat suku bunga SBI tersebut sudah sepantasnya perlu dicermati dengan seksama.

            Sebagaimana kita ketahui bahwa kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga beberapa tahun yang lalu yang mencapai 50 persen hendaknya menjadi pelajaran yang sangat berharga. Dampak dari kenaikan suku bunga SBI tersebut jelas mematikan sejumlah bank, bank tidak dapat berjalan secara normal dan tak mampu menahan munculnya negative spread. Bukan saja dunia perbankan yang kolaps, tetapi dunia usaha juga mengalami nasib yang sama. Mereka tak lagi mampu mencari tambahan dana dari dunia perbankan dengan tingkat suku bunga yang tinggi tersebut. Apakah pengalaman pahit sebelumnya juga akan berulang lagi? Mudah-mudahan tidak. Pengalaman pahit tersebut hendaknya menjadi cermin bagi bank Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam mengambil suatu kebijakan moneter.

            Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah bahwa naiknya suku bunga SBI akan berdampak dengan semakin membengkaknya beban bunga obligasi pemerintah dalam APBN. Setiap kenaikan suku bunga 1 persen diperkirakan akan menambah beban bunga obligasi APBN sekitar Rp. 2 triliun.

 

Inflasi

            Tingkat inflasi dalam APBN 2001 diperkirakan 7,2 persen. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita mampu menekan laju inflasi sehingga paling tidak sesuai dengan yang ditetapkan dalam APBN 2001 tersebut. Hal ini mengingat bahwa dalam waktu tiga bulan pertama, sejak Januari sampai dengan Maret 2001 jumlah kumulatif angka inflasi sudah mencapai 2,11 persen.

            Dalam beberapa bulan kedepan masih terdapat tekanan-tekanan yang mendorong tingginya inflasi, misalnya kenaikan harga BBM untuk industri, rencana kenaikan tarif telepon, air bersih, listrik, dan kenaikan pajak, yang ujung-ujungnya adalah menambah beban masyarakat melalui kenaikan sejumlah harga kebutuhan. Hal itu akan menjadi pendorong naiknya laju inflasi.

 

Menutup Defisit Anggaran

            Apabila defisit APBN 2001 betul-betul membengkak sekitar Rp. 70 triliun, maka kemampuan pemerintah untuk mencari tombokan bagi menutup defisit anggaran nampak semakin berat. Salah satu sumber dana untuk menutup defisit anggaran adalah berasal dari pinjaman luar negeri, seperti dana IMF, Bank Dunia,  dan CGI.

Kalau bantuan dana IMF sendiri tersendat-sendat, maka harus ada alternatif lain antara lain melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sector pajak, penjualan sejumlah asset yang dalam genggaman BPPN, peningkatan ekspor migas dan migas, peningkatan performance BUMN, dan melakukan efisiensi di berbagai bidang kegiatan pemerintahan.

Pajak lagi-lagi menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang senantiasa terus digali dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan bagi para wajib pajak. Menurut Dirjen Pajak hadi Purnomo dalam dua bulan terakhir pajak telah terkumpul Rp. 22 triliun.

Selain itu, efisiensi dalam berbagai bidang kegiatan pemerintahan nampaknya menjadi salah satu cara mengurangi defisit anggaran. Dalam situasi perekonomian yang masih terpuruk, sudah sewajarnya kalau pemerintah harus dapat mengelola setiap pengeluaran pemerintah secara efektif dan efisien. Contoh sederhana, pemerintah sudah selayaknya untuk membatalkan impor mobil mewah hanya untuk keperluan penyambutan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G15 dan dapat memanfaatkan mobil-mobil dinas mewah yang digunakan para pejabat plus mobil-mobil mewah sitaan negara. Pendek kata, pemerintah harus all-out untuk mengatasi masalah defisit anggaran tersebut. Semoga!

@@@