Personal Website Djoko Purwanto
MEWASPADAI MELEMAHNYA RUPIAH

Oleh: Drs. Djoko Purwanto, MBA

 

            Rupiah akhirnya dapat menembus batas psikologis Rp. 9.000,- per US dollar. Para pelaku pasar nampaknya mulai khawatir terhadap gerakan-gerakan rupiah yang semakin lama semakin melemah hingga melampaui batas psikologis tersebut. Padahal bila diamati secara lebih intens, minimal dua bulan terakhir ini posisi rupiah relatif masih dapat bertahan pada kisaran Rp. 8.000,- sampai dengan Rp. 8.500,- per US dollar. Akankah kondisi rupiah ini akan berkepanjangan sehingga memunculkan krisis babak kedua, mudah-mudahan tidak.

 

Melemahnya Rupiah

            Secara umum melemahnya kondisi rupiah saat ini dapat disebabkan oleh dua faktor penting, pertama faktor-faktor ekonomi dan nonekonomi. Faktor-faktor ekonomi dapat dilihat dari sejauhmana kondisi fundamental ekonomi yang ada saat ini. Kondisi fundamental ekonomi dalam hal ini dapat dilihat dari sejumlah indikator penting terutama bagaimana kondisi ekonomi makro.

Kondisi ekonomi makro saat ini ada kecenderungan (trend) mengarah pada proses pemulihan ekonomi, meskipun dalam beberapa hal masih belum safe benar atau masih labil. Adapun kondisi ekonomi makro dapat dilihat dari beberapa indikator penting antara lain: pertumbuhan ekonomi, pendapatan nasional, tingkat inflasi, jumlah uang yang beredar di masyarakat, jumlah pengangguran, investasi (penanaman modal domestik dan asing), keseimbangan eksternal, cadangan devisa, dan tingkat suku bunga.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia terbaru untuk triwulan III tahun 2000 beberapa indikator ekonomi makro memang nampak mengalami perkembangan yang mengarah pada proses pemulihan ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, ekspor, investasi, mulai pengucuran kredit bank, dan laju inflasi.

Laju pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan sebesar 3-4 persen pada akhir tahun 2000 nampaknya akan dapat dilalui, dan diperkirakan dapat mencapai 4-5 persen pada akhir tahun 2000. Sumber pertumbuhan ini paling tidak didukung oleh semakin meningkatnya investasi, ekspor dan konsumsi.

Ekspor nonmigas untuk sembilan bulan pertama tahun 2000 tercatat telah mencapai US $ 34,8 milliar terutama ditunjang oleh ekspor kelompok barang industri dan pertambangan yang tumbuh masing-masing 25,1% dan 4,8%, sedangkan kelompok barang pertanian mengalami penurunan sebesar 2,9%. Peningkatan kelompok barang industri mencakup alat-alat listrik, ekspor kertas, dan ekspor tekstil. Sedangkan untuk kelompok pertambangan dipacu oleh peningkatan ekspor aluminium dan nikel.

Meskipun ekspor mengalami peningkatan, nampaknya sebagian pengamat pasar uang tidak merasa yakin bahwa devisa yang jumlahnya miliaran US dollar tersebut kembali ke tanah air semuanya. Paling tidak ada sebagian yang dengan perhitungan ekonomis di parkir di luar negeri, terlebih melihat kondisi nilai tukar rupiah yang masih terpuruk.

Investasi selama bulan Juni – Agustus 2000 ada kecenderungan meningkat. Hal ini dapat tercermin peningkatan kegiatan penyaluran kredit perbankan yang mencapai Rp. 12,8 triliun. Disamping itu, meningkatnya kegiatan investasi dapat pula tercermin dari jumlah persetujuan proyek investasi yang berstatus PMA, sementara yang berstatus PMDN jumlah proyek yang disetujui cenderung mengalami penurunan. Jenis investasi yang cenderung meningkat antara lain bidang energi listrik, konstruksi, perdagangan, hotel dan pengangkutan /transportasi. Meskipun ada peningkatan investasi, nampaknya belum mampu mengatasi jumlah pengangguran yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Tekanan inflasi pada dua triwulan sebelumnya nampaknya masih berlanjut. Pada triwulan III tahun 2000 inflasi yang dicerminkan dengan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 1,74 persen lebih rendah dari inflasi triwulan II sebesar 1,91 persen. Secara kumulatif, laju inflasi sampai dengan September 2000 telah mencapai 4,65 persen masih dibawah target inflasi yang ditentukan awal tahun berkisar 5-7 persen. Diperkirakan sampai akhir tahun 2000 tekanan inflasi masih akan berlanjut, mangingat pada bulan-bulan Nopember-Desember 2000 bertepatan dengan suasana keagamaan seperti Bulan Ramadhan (puasa), Hari Raya Fitri, Hari Natal dan Tahun Baru.

            Selain itu, bersamaan dengan utang luar negeri perusahaan swasta yang telah jatuh tempo serta meningkatnya kebutuhan impor bahan baku dan barang modal, maka permintaan dollar menjadi semakin meningkat, yang pada akhirnya akan memberikan tekanan terhadap rupiah sehingga nilai tukar rupiah terhadap dollar menjadi melemah. Paling tidak sekitar US $ 5,7 milliar utang luar negeri perusahaan swasta akan jatuh tempo akhir tahun ini.

            Selain itu, kondisi valuta asing khususnya kawasan Asean seperti mata uang peso (Philipina) dan bath (Thailand) juga mengalami tekanan yang berakibat pada melemahnya kedua mata uang asing tersebut. Melemahnya kedua mata uang asing tersebut berdampak pada melemahnya posisi rupiah. Barangkali masih segar dalam ingatan kita, bagaimana melemahnya mata uang bath saat itu sebagai ulah spekulan yang terjadi sekitar pertengahan tahun 1997. Situasi perekonomian Thailand menjadi goyah setelah Menteri Keuangan Thailand menyatakan mengundurkan diri sebagai protes ketidaksetujuan pemberlakuan devaluasi mata uang bath. Selanjutnya Bank Sentral Thailand sekitar Juli melakukan devaluasi mata uang bath. Kondisi yang terjadi di Thailand tersebut merembet sampai ke tanah air, sehingga krisis moneter tak terhindarkan. Rupiah menjadi semakin terpuruk bahkan pernah menyentuh angka Rp. 16.000,- per US dollar.

            Sedangkan faktor nonekonomi yang berpengaruh terhadap terpuruknya rupiah belakangan ini antara lain situasi politik dalam negeri yang semakin memanas, ketegangan antara kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya yang tergabung dalam pansus Buloggate atau Bruneigate, tantangan Presiden untuk menggelar SI dan kondisi keamanan khususnya ancaman terhadap keamanan warga atau lembaga asing di tanah air.

            Tuntutan mundur terhadap presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang disuarakan oleh sejumlah kalangan baik politisi, mahasiswa maupun kalangan professional yang semakin marak, nampaknya memberikan andil yang cukup besar terhadap melemahnya rupiah. Hal ini nampak dengan semakin terpuruknya rupiah yang menembus batas psikologis Rp. 9.400,- per US dollar, bahkan sempat menyentuh level Rp. 9.500,- per US dollar. Melihat kondisi ini, nampaknya Menteri Keuangan sempat juga panik bahkan Menko Ekuin sempat menuding para politisi yang ingin menggoyang pemerintahaan untuk ikut bertanggungjawab.

            Pelaku pasar nampaknya juga was-was terhadap ketegangan antara legislatif dengan eksekutif kaitannya dengan penuntasan kasus Buloggate dan Bruneigate serta tantangan Presiden untuk menggelar Sidang Istimewa MPR. Tarik ulur yang terjadi antara lembaga legislative dan eksekutif menjadikan para pelaku pasar dalam situasi ketidakpastian dan bingung dalam mensikapi apa yang terjadi.

            Disamping itu, kondisi keamanan (security) khususnya yang mencakup kepentingan Amerika Serikat seperti munculnya demo anti Amerika Serikat yang semakin marak di depan Kedutaan Besar AS dan beberapa tempat lain di Indonesia, yang berakibat pada penutupan Kantor Kedutaan Besar AS tersebut. Terlebih lagi munculnya kegiatan sweeping bagi warga AS yang terjadi di Solo paling tidak memberikan image yang kurang menguntungkan bagi pemerintah Indonesia. Dengan kata lain bahwa bagi investor asing, Indonesia masih belum bisa memberikan rasa aman untuk berinvestasi.

 

Alternatif Solusi

Sesuai dengan pasal 7 UU Bank Indonesia Nomor 23 Tahun 1999, tujuan Bank Indonesia adaah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Sedangkan untuk mencapai tujuan tersebut BI dapat menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;mengatur dan mengawasi bank.

Melihat perkembangan rupiah yang sudah melampau angka Rp. 9.000,- per US dollar memang sudah selayaknya BI melakukan tindakan riil guna menstabilkan rupiah. Ada beberapa kebijakan penting yang dapat dilakukan oleh BI antara lain: melakukan aksi intervensi pasar (paling tidak dapat ngerem agar rupiah tak semakin terpuruk) dengan melihat seberapa besar cadangan yang tersedia, tight money policy dengan menaikkan tingkat suku bunga (SBI), dan monitoring devisa.

Mengingat bahwa terpuruknya rupiah bukan semata-mata faktor ekonomi, tetapi juga nonekonomi, maka pemerintah dalam hal ini memiliki beban yang cukup berat yaitu bagaimana menumbuhkan kepercayaan dunia internasional terhadap kondisi politik dan keamanan di dalam negeri. Terutama bagaimana menumbuhkan rasa aman bagi bagi warga asing yang ingin berwisata maupun para investor asing yang ingin berinvestasi di Indonesia. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah konsistensi pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakannya.

Tentunya kita berharap agar jangan sampai rupiah meluncur jauh sehingga posisi rupiah menjadi semakin terpuruk. Apabila ini terjadi maka proses pemulihan ekonomi akan menjadi semakin payah dan cost recovery-nya menjadi sangat mahal. Bisa jadi merembet pada goyahnya pemerintahan sekarang. Semoga saja tidak terjadi!

 

@@@