JAKARTA INITIATIVE & PENYELESAIAN UTANG SWASTA

Oleh : Djoko Purwanto

 

            Untuk mempercepat proses restrukturisasi hutang swasta dan pemulihan roda perekonomian nasional, pemerintah melalui Menko Ekuin, Ginanjar Kartasasmita, pada tanggal 9 September 1998 meluncurkan program baru yang dikenal dengan istilah Jakarta Initiative (Prakarsa Jakarta) yang merupakan program susulan dari INDRA (Indonesian Debt Restructuring Agency) sebuah lembaga restrukturisasi atas hutang-hutang Indonesia.

Program Jakarta Initiative ini agak berbeda dengan program INDRA yang telah ditetapkan pemberlakuannya mulai tanggal 3 Agustus 1998. Program Jakarta Initiative  tersebut dimaksudkan untuk dapat menjembatani penyelesaian hutang swasta secara menyeluruh, namun dengan lebih menitikberatkan kreditur domestik; sementara itu INDRA lebih memfokuskan penyelesaian hutang swasta bagi kreditur asing dalam kurun waktu delapan tahun. Kedua-duanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh kesepahaman bersama tentang cara-cara penyelesaian hutang yang baik antara kedua belah pihak, yaitu debitur dan kreditur.

Kehadiran program baru tersebut tentunya tidak perlu lagi dipertentangkan dengan keberadaan letter of intent (nota kesepakatan) dari IMF maupun World Bank, karena program tersebut memperoleh dukungan dari Direktur IMF untuk Asia Pasifik, Hurbert Neiss dan Kepala Perwakilan Bank Dunia di Jakarta, Dennis De Tray. Oleh karena itu, program Jakarta Initiative diharapkan mampu menjembatani antara para debitur dan kreditur dalam menyelesaikan hutang-hutang mereka atas dasar prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak.

            Apabila ditelusuri lebih jauh, hutang swasta nampak memiliki porsi yang lebih besar daripada hutang pemerintah. Menurut Ketua Tim Penanggulangan Masalah Hutang Luar Negeri Swasta, Radius Prawiro bahwa total hutang luar negeri Indonesia telah mencapai sekitar US $ 137,424 miliar, yang terdiri atas hutang pemerintah US $ 63,462 miliar dan hutang swasta US $ 73,962 miliar. Lebih lanjut, Radius Prawiro melakukan pemisahan hutang swasta kedalam hutang swasta murni (nasional) dan hutang swasta asing (perusahaan joint venture dan perusahaan asing di Indonesia). Hutang swasta nasional sekitar US $ 23,069 miliar atau sekitar sepertiga dari total hutang swasta (Jawa Pos 7/2). Jumlah hutang luar negeri swasta yang telah jatuh tempo pada akhir tahun 1998 diperkirakan mencapai sekitar US$ 34 miliar. Oleh karena itu, perburuan dollar untuk membayar hutang-hutang luar negeri yang telah jatuh tempo nampaknya masih akan berlanjut.

 

Fasilitator

            Program Jakarta Initiative tersebut diharapkan mampu berperan sebagai fasilitator antara para debitur dan kreditur domestik dalam menyelesaikan hutang-hutang mereka diluar jalur pengadilan. Dalam artian bahwa sedapat mungkin permasalahan hutang-hutang mereka dapat diselesaikan melalui jalur negosiasi antara kedua belah pihak diluar proses pengadilan (out of court).

Upaya awal tersebut diharapkan mememperoleh titik temu antara kedua belah pihak. Berbagai hal yang dapat dinegosiasikan secara bilateral seperti masalah kemungkinan adanya perpanjangan (tenggang waktu) pembayaran, grace period, permintaan pemotongan jumlah hutang (diskon), dan penetapan suku bunga yang layak. Namun, seandainya negosiasi tersebut tidak memperoleh hasil yang optimal, maka jalur hukum merupakan alternatifnya yaitu pengadilan niaga. Jalur pengadilan ini sebaiknya hanya ditempuh sebagai alternatif terakhir manakala jalur negosiasi mengalami jalan buntu.

Apabila sampai pada proses pengadilan dan debitur dinyatakan pailit (bangkrut), maka kedua belah pihak tentu akan ikut menanggung kerugian bersama. Bagi debitur, kerugian yang timbul bukan saja berdampak pada pemilik perusahaan, karena hilangnya (penyitaan) aset-aset perusahaan, tetapi juga memiliki dampak sosial yang lebih luas yaitu adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi semua karyawannya, karena perusahaannya telah dinyatakan bangkrut (pailit), sehingga tidak dapat beroperasi lagi. Selanjutnya, dengan semakin banyaknya karyawan yang terkena PHK dan ditambah dengan deretan para penganggur yang cukup besar, maka hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu munculnya berbagai tindakan negatif yang tidak diharapkan oleh masyarakat.

Sementara itu, dengan adanya putusan pailit bagi debitur, maka pihak krediturpun ikut menanggung kerugian, karena pada umumnya proses pengembalian dana yang telah dinikmati oleh debitur memerlukan waktu yang relatif lama (penyitaan aset-aset perusahaan), sehingga dapat mengganggu cash flow pihak kreditur.   Disamping itu, dengan adanya keputusan pailit bagi debitur, maka berbagai macam rencana program yang telah dirancang oleh pihak kreditur juga ikut terhambat, yang pada gilirannya berdampak memperburuk kinerja pihak kreditur secara keseluruhan.

Mengingat bahwa dampak kumulatif dari kepailitan / kebangkrutan suatu perusahaan dapat mengganggu perekonomian nasional, maka sudah selayaknya pemerintah mencari berbagai upaya pencegahannya, salah satunya adalah melalui program Jakarta Initiative. Berhasil tidaknya program tersebut sangat terganting kepada kemauan kedua belah pihak dan pemerintah dalam memberikan berbagai insentif yang mampu mendorong kedua belah pihak tersebut duduk bersanding dalam sebuah negosiasi.

 

Kendala Yang Mungkin Muncul

            Salah satu prinsip yang harus diterapkan dalam bernegosiasi adalah adanya kesadaran bersama bahwa masing-masing pihak memiliki kedudukan yang sejajar, seimbang, tidak boleh ada perasaan superior atas yang lain. Mereka duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, untuk dapat menyelesaikan permasalahan hutang-piutang diantara mereka dengan penuh kearifan dan kepala dingin. Masing-masing merupakan partner usaha dimana antara yang satu dengan yang lain saling melengkapi dan membutuhkan, yang pada gilirannya mampu menumbuhkan suatu sinergi yang dapat menghasilkan suatu manfaat bersama.

            Dalam situasi krisis ekonomi dan moneter dewasa ini, perusahaan harus berjuang keras untuk menemukan strategi yang tepat agar dapat keluar dari situasi krisis. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai penerapan efisiensi di berbagai bidang sampai pada perampingan karyawan. Namun, dengan semakin tingginya tingkat suku bunga pinjaman akhir-akhir ini, tentu akan menambah semakin sulit bagi perusahaan dalam meraih dana segar untuk operasional perusahaan juga disisi lain akan semakin menambah berat beban bunga yang harus dibayar. Selain itu, perusahaan juga dihadapkan pada semakin tingginya berbagai harga kebutuhan bahan baku maupun bahan pembantu yang berdampak semakin mahal biaya produksinya. Disisi lain, kemampuan daya beli masyarakat semakin merosot, yang pada akhirnya dapat memperlemah kinerja perusahaan secara menyeluruh.

            Bagi pihak kreditur sebagai suatu institusi yang memberikan pinjaman kepada pihak lain juga mengalami kesulitan dalam memupuk dana yang dapat dipinjamkan kepada para debitur. Tingginya suku bunga yang diperoleh kreditur tentu akan menambah beban suku bunga pinjaman bagi para debitur.

            Pendek kata bahwa baik debitur maupun pihak kreditur memiliki kendala yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kalau masing-masing pihak tetap mempertahankan kepentingannya sendiri-sendiri, maka upaya Jakarta Initiative melalui negosiasi ini akan sulit mencapai tujuan. Lagi pula, fasilitas maupun berbagai kemudahan yang ditawarkan pemerintah mampu menarik kedua belah pihak untuk masuk program Jakarta Initiative melalui jalur negosiasi.

 

 Insentif

Untuk mempercepat penyelesaian hutang-hutang swasta, maka diperlukan semacam mediator yang dapat mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur. Melalui program Jakarta Initiative diharapkan kedua kepentingan dapat dipertemukan dalam suatu negosiasi yang mengarah pada win-win solution.

Pemerintah tentunya sangat concern terhadap berbagai upaya untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional. Dalam hal ini, pemerintah melalui program Jakarta Initiative tersebut akan memberikan berbagai fasilitas kemudahan kepada pihak-pihak yang masuk program Jakarta Initiative seperti fasilitas perpajakan, kemudahan dalam regulasi maupun administrasi. Berbagai fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan oleh pemerintah mungkin dapat meringankan keduabelah pihak, namun apakah hal itu menyentuh esensi keduabelah pihak, tentu masih dalam tanda tanya besar.

Semoga saja, upaya pemerintah dalam ikut serta berperan sebagai mediator penyelesaian hitang-hutang swasta bukanlah sesuatu yang sia-sia, dan bukan bertepuk sebelah tangan.

@@@