GEJOLAK RUPIAH DAN PEMULIHAN EKONOMI

Oleh: Djoko Purwanto

 

            Fluktuasi rupiah yang terjadi akhir-akhir ini nampaknya cukup mengkhawatirkan pemerintah, terutama bila dikaitkan dengan anggaran pemerintah yang defisitnya sudah mencapai Rp. 52,11 triliun,-dan kaitannya dengan kelangsungan proses pemulihan ekonomi. Rupiah yang beberapa pekan silam sempat bertahan dikisaran Rp. 9.500,- per US dollar, akhirnya pada hari Jum’at 9 Maret 2001 jam 11.45 wib menyentuh angka Rp. 10.000,- per US dollar. Bahkan  tiga hari kemudian, 12 Maret 2001 posisi rupiah semakin terpuruk dan menembus angka Rp. 11.500,- per US dollar, meskipun akhirnya ditutup menguat menjadi Rp. 10.500,- per US dollar.

            Asumsi APBN 2001 terhadap kurs rupiah Rp. 7.800,- per US dollar nampaknya menjadi semakin berat dicapai oleh pemerintah, mengingat hingga kini posisi rupiah sudah berada dikisaran Rp. 10.000,- per US dollar. Saat ini posisi rupiah masih relatif rentan terhadap tekanan-tekanan ekonomi dan nonekonomi yang dapat memperlemah rupiah.

Bila diamati lebih jauh, kondisi rupiah terakhir ini merupakan kondisi terburuk selama dua tahun terakhir. Pada awal pemerintahan Gus Dur kurs rupiah mampu bertengger Rp. 6.700,- per US dollar, namun dalam perkembangannya seiring dengan dinamika roda pemerintahan yang baru, nampaknya rupiah cenderung semakin melemah hingga menyentuh angka Rp. 11.500,- per US dollar. Maka tidaklah mengherankan kalau para pelaku bisnis dan pasar uang semakin cemas dan khawatir terhadap nasib mata uang rupiah yang semakin melemah tersebut.

 

Mengapa melemah ?

            Dalam sistem moneter yang bebas mengambang (floating exchang rate system) fluktuasi mata uang merupakan hal yang biasa, baik mengarah pada penguatan atau pelemahan suatu mata uang. Oleh karena Indonesia saat ini menerapkan system tersebut, maka perlu disadari bahwa fluktuasi rupiah terhadap mata uang asing (khususnya dollar Amerika Serikat) adalah hal yang wajar-wajar saja. Namun demikian, menjadi tidak wajar lagi kalau fluktuasi rupiah pada kisaran yang cukup signifikan, seperti yang terjadi saat ini.

            Seringkali muncul pertanyaan bagi masyarakat awam, mengapa rupiah cenderung semakin melemah. Secara garis besar ada dua factor penting yang dapat memicu melemahnya rupiah, yaitu factor ekonomi dan nonekonomi. Faktor ekonomi yang dapat memicu melemahnya rupiah karena adanya permintaan pelaku bisnis dan pasar uang terhadap dollar yang cukup signifikan yang berakibat pada menguatnya dollar AS disatu sisi, dan melemahnya rupiah disisi yang lain.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam tahun 2001 ini diperkirakan jumlah utang luar negeri yang akan jatuh tempo baik utang swasta maupun utang pemerintah mencapai sekitar US$ 26,5 miliar dimana US$ 18,9 miliar sebagai utang swasta dan US$ 7,6 utang pemerintah. Melihat kondisi ini, maka diperkirakan posisi rupiah sepanjang tahun ini akan masih tertekan mengingat para pelaku bisnis akan terus memburu dollar untuk menutup kewajiban-kewajiban utangnya yang akan jatuh tempo. Secara ekonomis, perilaku pelaku bisnis yang memborong dollar saat ini untuk membayar utangnya yang mungkin akan jatuh tempo beberapa bulan kedepan adalah hal yang wajar dalam bisnis. Disamping itu, molornya kucuran bantuan dana dari IMF senilai US$ 400 juta bagi Indonesia sebagaimana tertuang dalam nota kesepakatan letter of intent (LOI) tentulah sangat berarti bagi penopang kegiatan operasional pemerintah.

Sedangkan factor nonekonomi lebih banyak disebabkan oleh kondisi politik dan keamanan yang relatif belum kondusif. Berbagai kasus tragedi kemanusiaan seperti di Sampit dan Palangkaraya yang menelan ratusan jiwa nampaknya memberikan sentiman negatif bagi pasar uang. Terlebih lagi dengan munculnya memorandum pertama yang diberikan DPR-RI bagi presiden Gus Dur, hubungan keduanya menjadi semakin tidak “sreg” saja. Lagipula, kecenderungan munculnya aksi-aksi demo belakangan ini yang mengarah pada sikap kekerasan/anarkhis, pemblokiran jalan-jalan umum strategis yang berakibat terganggunya arus distribusi barang dan jasa dari suatu tempat ke tempat lain. Potret yang muncul ke permukaan atas berbagai perilaku sebagian masyarakat tersebut, jelas akan memberikan rasa cemas, takut, tidak nyaman, dan tidak aman bagi sebagian  masyarakat  yang lain. Kalau hal itu terus berlanjut, bukan mustahil perekonomian nasional kita menjadi semakin terpuruk lagi dan proses pemulihan ekonomi yang kini mulai menggelinding juga akan mengalami nasib yang sama.

Yang tak kalah penting adalah bagaimana ekspektasi para spekulan terhadap mata uang rupiah. Kalau mereka beranggapan bahwa rupiah dalam beberapa pekan kedepan akan masih tertekan, maka para spekulan akan melepas rupiah dan memburu mata uang yang memiliki nilai tinggi, dollar AS misalnya. Aksi ambil untung (profit taking) merupakan pekerjaan rutin bagi para spekulan valas.

Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bertugas menjaga stabilitas moneter tentunya tidak mungkin dapat membersihkan ulah para spekulan valas yang jelas-jelas dapat menggoyang kurs rupiah. Namun, BI melalui berbagai kebijakannya dapat melakukan pembatasan transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing, badan hukum asing atau badan asing lainnya; warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia; kantor Bankbadan hukum Indonesia di luar negeri; sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor:3/3/PBI//2001. Meskipun disadari bahwa kebijakan pembatasan transaksi rupiah tersebut bukanlah satu-satunya cara meredam gejolak rupiah.

 

Pemulihan Ekonomi

            Posisi rupiah yang cenderung melemah dalam beberapa pekan terakhir ini tentunya dapat mengganggu percepatan proses pemulihan ekonomi (economic recovery). Pemulihan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari sejauhmana roda perekonomian suatu negara bergerak menuju pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Dalam artian bahwa kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera, aman, dan tenteram.

            Proses percepatan pemulihan ekonomi dalam prakteknya masih menemui berbagai kendala/hambatan diantaranya masalah perbankan, restrukturisasi utang-utang perusahaan, investasi, dan masalah stabilitas keamanan dan politik.

Salah satu indikasi yang cukup penting adalah bagaimana dunia perbankan mampu melakukan peran dan fungsi perbankan baik yang berkaitan dengan pengelolaan dana dari masyarakat dan penyaluran dana bagi masyarakat yang membutuhkan. Bergeraknya sector riil tidak dapat dilepaskan dari bagaimana dunia perbankan mampu menyalurkan dananya bagi para pelaku bisnis yang ada, baik sector perdagangan (termasuk retail), manufacturing, dan jasa. Oleh karena itu, dunia perbankan menjadi urat nadi bagi bergeraknya sector riil yang ada di tengah-tengah masyarakat.

            Selain masalah perbankan, proses pemulihan ekonomi dapat terganggu oleh belum beresnya restrukturisasi utang-utang para obligor kelas kakap yang jumlahnya mencapai ratusan triliun dan kini masih dalam proses penyelesaian di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sebagaimana kita ketahui bahwa para obligor yang kini dalam pengawasan BPPN jumlahnya mencapai ribuan mulai dari obligor kelas teri sampai dengan kelas kakap.

Selain itu, indikasi pemulihan ekonomi dapat dilihat dari sejauhmana pemerintah mampu menumbuhkembangkan dunia investasi dalam berbagai bidang / sector usaha, baik yang berasal dari para investor domestik maupun investor asing. Dunia investasi akhir-akhir ini nampak cukup mengkhawatirkan dan dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi, terlebih munculnya sejumlah perusahaan industri tekstil dan sepatu yang melakukan relokasi industri di negara lain karena merasa terganggu dengan masalah perburuhan, ditambah lagi dengan tidak beroperasinya (tutup sementara) perusahaan minyak LNG PT Exxon Mobil di Aceh karena factor keamanan (security).

Apabila iklim investasi sudah relatif baik, maka diharapkan mulai bermunculan industri-industri baru yang pada gilirannya dapat menyerap sejumlah tenaga kerja, sehingga tingkat pengangguran yang ada ini secara berangsur-angsur dapat dikurangi. Jumlah pengangguran yang ada saat ini baik dari kalangan berpendidikan maupun tidak masih cukup tinggi sekitar 36 juta jiwa. Apabila hal ini tidak memperoleh respon yang baik, maka dikhawatirkan akan dapat memicu munculnya berbagai tingkat kerawanan sosial di masyarakat.

            Faktor keamanan dan stabilitas politik nampaknya menjadi prasyarat bagi daya tarik bagi investor untuk menginvestasikan dananya di suatu negara, disamping pertimbangan-pertimbangan secara ekonomis factor kelayakan usahanya. Oleh karenanya, bagaimana memberikan rasa aman bagi investor baik domestik maupun asing haruslah menjadi prioritas utama bagi berlangsungnya roda-roda perekonomian. Selama kedua factor tersebut belum dapat diatasi, nampaknya akan sulit untuk dapat menarik para investor.

Sebuah harapan

            Mengingat semakin melemahnya rupiah dalam beberapa pekan terakhir ini, nampaknya otritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia bersama pemerintah harus berupaya seoptimal mungkin untuk meredam gejolak rupiah melalui berbagai instrumen kebijakan secara lebih berhati-hati baik yang berkaitan dengan kebijakan moneter dan fiscal.

            Selain itu, yang tidak kalah penting adalah bagaimana pemerintah dalam hal ini aparat keamanan mampu menciptakan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat pada umumnya, termasuk para investor asing. Berbagai bentuk kekerasan, perilaku-perilaku anarkhis, ancaman, intimadasi  dan sejenisnya yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat hendaklah diakhiri dan tidak perlu diulang lagi.

Diharapkan dengan terciptanya rasa aman dan nyaman bagi masyarakat akan mampu menggairahkan iklim investasi di Indonesia, sehingga memberikan dampak yang positif bagi berputarnya roda perekonomian. Berputarnya roda perekonomian tidak lain merupakan sinyal pemulihan ekonomi. Semoga!

@@@