Mewaspadai Dampak Kenaikan Harga BBM dan TDL

Oleh: Djoko Purwanto

 

Barangkali masih segar dalam ingatan kita, tepatnya 1 April 2001 pemerintah telah menaikkan harga BBM bagi dunia industri sekitar 50 s/d 100 persen. Namun, lagi-lagi pemerintah melalui Menteri Keuangan RI Prijadi Praptosuhardjo seusai Rakor Bidang Ekonomi di Istana Wakil Presiden, Kamis 17 Mei 2001 memutuskan untuk menaikkan harga semua jenis BBM sebesar 30 persen dan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 20 persen mulai 15 Juni 2001. Tentunya, sebelum pemerintah memberlakukan rencana kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik tersebut, pemerintah akan meminta persetujuan (konsultasi) dengan pihak DPR. Selain itu, pemerintah juga akan menaikkan PPN (pajak pertambahan nilai) dari 10 persen menjadi 12,5 persen berlaku Juli 2001.

            Keputusan pemerintah tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, mengingat beberapa waktu yang lalu Menko Ekuin Rizal Ramli pernah menyampaikan rencana kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2001. Tetapi yang menjadi pertanyaan barangkali mengapa harus dimajukan menjadi 15 Juni 2001. Padahal untuk pemberlakuan sebuah kebijakan publik tentunya perlu disiapkan berbagai langkah antisipasi yang dapat mengurangi dampak negatif dari sebuah kebijakan ekonomi. Pemerintah sudah selayaknya belajar dari berbagai pengalaman kebijakan kenaikan BBM sebelumnya, yang ternyata meninggalkan berbagai permasalahan baru.

Keputusan pemerintah yang “tidak popular” ditengah berbagai situasi perekonomian nasional yang masih carut marut dan situasi politik dan keamanan yang belum kondusif tersebut merupakan keputusan yang sangat berani dan memiliki potensi social and political risk yang cukup tinggi. Dalam situasi dan kondisi yang ada saat ini, apakah keputusan pemerintah tersebut mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi penyelamatan keterpurukan perekonomian nasional kita, sebuah pertanyaan besar yang masih perlu perenungan secara mendalam.

           

Mengapa naik

            Sebuah pertanyaan yang muncul dibenak masyararakat awam, mengapa pemerintah harus menaikkan harga BBM dan TDL, padahal bulan April yang lalu BBM industri sudah naik? Paling tidak ada beberapa alasan yang mendasari mengapa pemerintah harus menaikkan harga BBM dan TDL. Pertama, adanya komitmen pemerintah untuk mengurangi segala bentuk subsidi pemerintah secara bertahap termasuk subsidi BBM dan TDL, sesuai dengan nota kesepakatan antara pemerintah RI dengan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). Nampaknya, sebagai akibat penundaan kenaikan harga BBM 1 April 2001 yang lalu, jumlah subsidi BBM mengalami pembengkaan cukup besar dari sekitar Rp. 43 triliun menjadi Rp. 66,8  triliun seiring dengan melemahnya mata uang rupiah terhadap dollar AS.  Kedua, dengan kenaikan harga BBM dan TDL tersebut diharapkan pemerintah dapat mengurangi defisit anggaran dalam APBN 2001 dimana saat ini diperkirakan defisit anggaran sebesar Rp. 53,8 triiliun (dengan asumsi kurs rupiah Rp. 9.600,-/US dollar). Ketiga, meminimalisir kemungkinan terjadinya penyelundupan BBM, mengingat adanya disparitas harga yang cukup besar antara harga BBM dalam dan luar negeri. Sebagaimana kita ketahui bahwa selama disparitas harga BBM tersebut cukup besar, maka ada kecenderungan para pelaku bisnis untuk melakukan aksi profit taking (ambil untung). Dalam hal ini, untuk mencegah terjadinya penyelundupan BBM , nampaknya kebijakan kenaikan harga BBM saja tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan pengamanan yang memadai.

            Dari berbagai alasan tersebut, nampaknya yang tidak kalah pentingnya adalah seberapa jauh uapaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mensosialisaikan rencana kenaikan BBM dan TDL tersebut. Hal ini seringkali kurang memperoleh porsi perhatian yang cukup dari pemerintah. Alangkah baiknya setiap kebijakan publik disamping melibatkan dengan pihak legislative juga lembaga-lembaga non pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap masyarakat konsumen. Mengingat pemerintah merencanakan kenaikan BBM dan TDL pada tanggal 15 Juni 2001 dan masih harus dikonsultasikan dengan DPR, maka jelas waktu yang digunakan untuk mensosialisasikan kebijakan pemerintah kepada masyarakat konsumen  menjadi sangat terbatas. Termasuk bagaimana mempersiapkan berbagai perangkat pendukung operasional di lapangan.

           

Mengkhawatirkan

Upaya pemerintah untuk menghindari keterpurukan ekonomi lebih dalam lagi disatu sisi dapat dipahami, namun disisi lain justru akan berpotensi menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Hal ini mengingat bahwa kebijakan menaikkan harga BBM dan TDL secara serempak pada 15 Juni 2001 bukanlah waktu yang tepat, mengingat beberapa alasan, antara lain: (1) kebijakan pemerintah tersebut bukan mustahil akan disambut oleh masyarakat secara luas dengan berbagai aksi demo; (2) pemerintah baru saja menaikkan harga BBM untuk industri sekitar 50 s/d 100 persen yang ujung-ujungnya jelas menambah beban masyarakat konsumen secara keseluruhan; (3) situasi politik pascamemorandum 2 yang nampaknya akan menggiring pada SI MPR, jelas tidak mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan TDL secara bersama-sama; (4) kalau keterpurukan ekonomi diatasi dengan menaikkan harga BBM dan TDL, maka ini menunjukkan ketidakadilan kebijakan ekonomi yang cenderung “nggebyah uyah”.

Oleh karena itu, alangkah baiknya kalau rencana kenaikan harga BBM dan TDL tersebut perlu ditinjau ulang, menunggu situasi politik dan keamanan yang lebih kondusif, apalagi saat ini proses politik yang mengarah ke SI semakin tak terbendung lagi.

 

 

Dampaknya bagi masyarakat

            Kenaikan harga BBM dan TDL secara langsung akan berpengaruh terhadap harga pokok produk (barang dan jasa) yang akan dikonsumsi oleh masyarakat konsumen, dimana naiknya harga pokok produk akan berakibat meningkatnya harga jual produk di pasaran. Secara makroekonomi, kenaikan harga BBM dan TDL jelas akan mendorong meningkatnya laju inflasi yang diperkirakan mencapai 9 s/d 10 persen.

Dalam hal ini, yang akan menanggung dampak langsung dari kenaikan harga BBM dan TDL adalah masyarakat konsumen dari semua lapisan masyarakat mulai dari lapis bawah sampai lapis atas, baik pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap. Meskipun mereka sama-sama menanggung dampak kenaikan harga BBM dan TDL tersebut, nampaknya golongan masyarakat lapis bawah dan pegawai tetap level bawah yang akan menanggung beban kenaikan cukup berat. Disamping konsumen, sebenarnya para pengusaha sendiri juga merasa berat untuk menaikkan harga barang dan jasanya sebagai akibat dari penyesuaian komponen biaya produksi dan transportasinya, mengingat kondisi perekonomian yang ada saat ini sangat payah.

            Masyarakat konsumen dalam situasi seperti ini betul-betul sangat berat, bagaimana tidak. Baru saja bulan April yang lalu sejumlah harga kebutuhan pokok masyarakat mulai naik, kini muncul kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM dan TDL sekaligus. Ibaratnya para pengusaha baru saja selesai memberikan stempel harga baru, tahu-tahu harus diperbaharui atau disesuaikan lagi

Dalam situasi masih “rencana” kenaikan harga BBM dan TDL, umumnya yang berlaku di pasaran sejumlah harga kebutuhan pokok masyarakat mulai merangkak naik. Yah, dari sisi bisnis para pelaku bisnis tidak bisa disalahkan seratus persen, karena mereka tidak mau menanggung kerugian. Disamping itu, bukan tidak mungkin akan muncul para spekulan yang mencari untung dengan cara menimbun BBM, sehingga BBM di sejumlah tempat kehabisan atau kosong. Sebelum muncul rencana kenaikan BBM dan TDL, dapat kita lihat di berbagai daerah di Indonesia terjadi kelangkaan BBM. khususnya solar dan minyak tanah. Apalagi kalau pada pertengahan Juni 2001 jadi diberlakukan kenaikan tersebut, bukan tidak mungkin kelangkaan BBM akan berlanjut, mengingat kenaikan harga cukup besar.

Lebih lanjut yang menjadi kekhawatiran kita adalah bahwa kenaikan harga BBM dan TDL yang berdampak pada naiknya sejumlah harga produk itu juga dibarengi dengan sejumlah tuntutan karyawan/pegawai untuk penyesuaian gaji dan upah mereka. Kalau ini terjadi, maka dalam situasi yang seperti ini perusahaan akan mengalami kesulitan dalam memenuhi tuntutan karyawan, apalagi kalau perusahaan dengan terpaksa harus tutup, maka situasi perekonomian pada umumnya menjadi semakin berat.

           

Kesimpulan

            Dengan mempertimbangkan berbagai kondisi yang ada saat ini, alangkah baiknya kalau pemerintah bersabar sejenak, meninjau ulang sambil mempersiapkan berbagai perangkat operasionalnya di lapangan. Jangan sampai maksud mengatasi suatu masalah justru akan menimbulkan masalah baru lagi, apalagi kalau social costnya tinggi. Kebijakan ekonomi sebelumnya hendaknya menjadi pelajaran yang sangat berharga, agar tidak terulang kembali, Terlebih lagi, kebijakan menaikkan harga BBM dan TDL bukanlah satu-satunya cara untuk memperbaiki perekonomian nasional. Dan yang tak kalah pentingnya adalah biarlah kondisi politik yang kini sedang bergulir lembaga legislatif dapat berjalan dengan smooth.

@@@